PENDAHULUAN
Maju mundurnya peradaban islam tergantung pada sejauh mana dinamika umat
islam itu sendiri. Dalam sejarah islam tercatat, bahwa salah satu dinamika umat
islam itu dicirikan oleh kehadiran kerajaan-kerajaan islam diantaranya Umayah
dan Abbasiyah, Umayah dan Abbasiyah memiliki peradaban yang tinggi, di antaranya
memunculkan ilmuwan-ilmuwan dan para pemikir muslim.
Masa kekhalifahan Bani Abbasiyah merupakan masa kejayaan umat islam
sepanjang sejarah. Pada masa itu titik berat pemerintahan bukan lagi pada
perluasan wilayah yang banyak melibatkan kekuasaan militer, akan tetapi pada
peradapan dan kebudayaan.
Bani Abbasiyah berkuasa kurang lebih selama 5 abad dan telah memberikan
banyak peninggalan sejarah yang bernilai positif dan berperan penting dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Dengan demikian, pada masa
itu banyak muncul hasil karya yang menjadi pelopor dalam dunia pengetahuan
modern saat ini.
Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui ilmuwa-ilmuwan yang
lahir dan berkarya pada masa kejayaan islam yaitu pada masa kekhalifahan Bani
Abbasiyah.
PEMBAHASAN
7 Tokoh Ilmuwan Muslim
pada Masa Bani Abbasiyah
Sejarah adalah
fakta, dan fakta adalah sejarah. Sejarah telah membuktikan betapa dunia Islam
telah melahirkan banyak golongan sarjana dan ilmuwan yang cukup hebat dalam
berbagai bidang keilmuwan. Dalam ajaran Islam, jika seseorang menemukan alat
atau apapun yang belum ada diciptakan oleh siapapun, maka wajiblah baginya
untuk menyebarkan hasil temuannya itu. Menyebarkannya kepada umat manusia agar
mereka semakin dapat mempermudah pekerjaannya dan menjadikan mereka semakin
bersyukur kepada Allah.
Orang-orang barat
mencuri ilmu-ilmu itu, lalu mematenkan atas nama mereka masing-masing untuk
mencari keuntungan. Banyak sekali penemuan-penemuan dari kebudayaan Islam yang
tak tercatat sejarah. Misalkan, diantaranya adalah keilmuwan dalam bidang
falsafah, sains, politik, kesusasteraan, kemasyarakatan, agama, pengobatan,
astronomi dan sebagainya. Salah satu ciri yang dapat diperhatikan pada para
tokoh ilmuwan Islam ialah mereka tidak sekedar dapat menguasai ilmu tersebut
pada usia yang muda, tetapi mereka juga menguasai keilmuwan tersebut dalam masa
yang singkat dan dapat menguasai beberapa bidang ilmu secara bersamaan. Berikut inilah 7 tokoh ilmuwan muslim yang hidup pada masa kekhilafahan
Bani Abbasiyah :
1. Ibnu Sina (370 - 428 H/980 - 1073 M)
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibnu Abdillah Ibn Sina. Dalam
dunia barat beliau dikenal dengan anam Avvicenna.[1]
Lahir pada Shafar 370 H/Agustus 980 M di Ifsyina (negeri kecil dekat
Charmitan), suatu tempat dekat Bukhara.[2] Ibnu
Sina mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya,[3] umur 17
tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan istana beliau pernah
mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak
saat itu Ibnu Sina mendapat akses untuk mengunjungi perpustakaan istana yang
terlengkap yaitu Kutub Khana.[4] Ibnu Sina
dikenal sebagai Bapak Kedokteran Dunia, kitabnya yang terkenal adalah Qanun fi Al-Thibb (Dasar-Dasar Ilmu
Kedokteran). Ia juga menulis buku berjudul Asy-Syifa' dan An-Najat.
Ibnu Sina adalah orang pertama yang menemukan peredaran manusia, dimana
enam tahun ratus kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Ibnu Sina jugalah
yang mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makannya
lewat tali pusarnya. Ibnu Sina juga yang pertama kali mempraktekkan pembedahan
penyakit-penyakit bengkak yang ganas dan menjahitnya. Dan ia juga terkenal
sebagai dokter ahli jiwa yang kini disebut psikoterapi.
2. Al-farabi (870 M - 950 M)
Al-Farabi merupakan julukan bagi Abu Nasr Ibnu Muhammad ibnu
Tarkhan ibnu Auzalagh. Al-Farabi dilahirkan di sebuah desa bernama Wasij yang
merupakan distrik dari kota Farab. Saat ini kota Farab dikenal dengan nama kota
Atrar/Transoxiana tahun 257 H/870 M.[5] Al-Farabi
oleh orang-orang latin abad tengah dijuluki dengan Abu Nashr (Abunaser),
sedangkan julukan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat ia dilahirkan.[6]
Di usia muda, Al-Farabi hijrah ke Baghdad yang
pada waktu itu merupakan pusat ilmu pengetahuan. Di Baghdad ia belajar kepada
Abu Bakar Al-Saraj untuk mempelajari kaidah bahasa Arab, dan kepada Abu Bisyr
Mattius ibnu Yunus (seorang kristen) untuk belajar logika dan filsafat.[7]
Al-farabi dikenal sebagai Guru Kedua dalam filsafat, Al-Farabi
memasukkan ilmu logika dalam kebudayaan Arab.
3. Ibnu Rusyd (526-595 H/1126-1198 M)
Nama Ibnu Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad bin
Ahmad bin Muhammad bin Rusyd. Berasal dari keturunan Arab kelahiran Andalusia.[8]
Ibnu Rusyd lahir di kota Cordova tahun 526-595 H atau 1126-1198 M. Ia lahir dan
dibesarkan dalam keluarga ahli fiqh. Ayahnya seorang hakim. Demikian juga
kakeknya sangat terkenal dengan sebagai ahli fiqh. Sang kakek dengan cucunya
mempunyai nama yang sama, yaitu Abu al-Walid. Maka untuk membedakannya, sang
kakek dipanggil Abul Walid al-Jadd (kakek), sedang sang cucu Abul Walid
al-Hafidz.[9]
Semenjak kecil Ibnu Rusyd belajar ilmu fiqh, ilmu
pasti dan ilmu kedokteran di Sevilla kemudian berhenti dan pulang ke Cordova
untuk melakukan studi, penelitian, membaca buku-buku dan menulis. Pada usia 18
tahun Ibnu Rusyd bepergian ke Maroko, di mana ia belajar kepada Ibnu Thufail.
Dalam bidang ilmu Tauhid (teologi) ia berpegang pada paham Asy’ariyah dan hal
ini tetap memberikan jalan baginya untuk mempelajari ilmu filsafat. Ringkasnya
Ibnu Rusyd adalah seorang yang ahli dalam bidang filsafat, agama, syari’at, dan
kedokteran yang terkenal pada masa itu.[10]
Ibnu Rusyd belajar matematika, astronomi, filsafat,
dan kedokteran kepada Ibnu Basykawal, Ibnu masarroh dan Abu Ja'far Harun.
Beliau dikenal orang barat dengan nama Averroes, lewat karyanya yaitu Al-Kulliyat yang
telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd
sangat berpengaruh di negara-negara Eropa, dan banyak dikaji di tingkat
universitas. Ia adalah seorang tokoh muslim yang ahli dalam bidang filsafat dan
kedokteran.
4. Al-Khawarizmi (780 M - 850 M)
Al Khawarizmi adalah seorang sarjana besar di
antara sarjana masyhur pada masanya dan mempunyai jasa mengenalkan sistem
penomoran india yang bermanfaat untuk bangsa Arab dan dunia Barat.[11]
Nama sebenarnya al-Khawarizmi ialah Muhammad Ibn Musa al-khawarizmi. Selain itu
beliau dikenali sebagai Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Yusoff.
Al-Khawarizmi telah dikanali di Barat sebagai al-Khawarizmi, al-Cowarizmi,
al-Ahawizmi, al-Karismi, al-Goritmi, al-Gorismi dan beberapa cara ejaan lagi.
Beliaulah yang menemukan Al Jabru wal Mukobala. (penjabaran dan penyelesaian).
Di nama latinkan menjadi Aljabar.
Al-Khawarizmi dikenal dengan teori Algoritmanya.
Selain itu, ia juga menciptakan teori matematika lain. Misalnya, Aljabar, yang
disebut matematika ilmu Hitung. Pada waktu itu seseorang tidak bisa di sebut
sebagai ahli matematika jika tidak mampu menganalisa karya ilmiah para ahli
matematika dulu. Al-Khawarizmi juga menghasilkan ilmu dibidang astronomi, ia
membuat sebuah tabel khusus yang mengelompokan ilmu perbintangan. Pada awal
Abad XII, sejumlah karya al-Khawarizmi diterjemahkan dalam bahasa latin aleh
Adelard Of Bal dan Gerard Of Cremona. Beberapa Universitas di Eropa menggunakan
buku karya al-Khawarizmi sebagai bahan acuan dan buku tugas pelajaran untuk
para Mahasiswa hingga memasuki pertengahan abad ke XVI.[12]
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali
ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus; 1058 / 450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun)
adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di
dunia Barat abad Pertengahan.[13]
Beliau mulai menuntut ilmu sejak masa kecilnya
yaitu Ilmu Fiqih kepada Al-Imam Ahmad Bin Muhammad Ar-Rodhakoni di kota
Baghdad, lalu Al-ghazali melanjutkan studinya ke negara Jurjan, beliau belajar
kepada Al-Imam Abi Nashr Al-isma'ili, Kemudian Al-Ghazali melanjutkan studinya
ke Kota Naysabur untuk menimba ilmu kepada Al-Imam Al-Haromain Mufti Kota
Mekkah dan Madinah.Beliau mulai menuntut ilmu sejak masa kecilnya yaitu Ilmu
Fiqih kepada Al-Imam Ahmad Bin Muhammad Ar-Rodhakoni di kota Baghdad, lalu
Al-ghazali melanjutkan studinya ke negara Jurjan, beliau belajar kepada Al-Imam
Abi Nashr Al-isma'ili, Kemudian Al-Ghazali melanjutkan studinya ke Kota
Naysabur untuk menimba ilmu kepada Al-Imam Al-Haromain Mufti Kota Mekkah dan
Madinah.
6. Ibnu Khaldun
Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Waliyuddin Abdurrahman bin
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin
Muhammad bin Abdurrahman bin Khaldun.[14] Beliau
dikenal dengan nama Ibnu Khaldun karena dihubungkan dengan garis keturunan
kakeknya yang kesembilan yaitu Khalid bin Usman. Kakeknya ini merupakan orang
pertama yang memasuki negeri Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan
Arab. Sesuai dengan kebiasaan orang- orang Andalusia dan Maghribi yang terbiasa
menambahkan huruf wow (و) dan nun (ن) dibelakang nama-nama orang terkemuka sebagai
penghormatan dan takzim, maka nama Khalid pun berubah kata menjadi Khaldun.[15]
Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunisia, Afrika Utara, pada 1 Ramadhan
732 H/27 Mei 1332 M, dan wafat di Kairo pada 25 Ramadhan 808 H/19 Maret 1406
M.5 Beliau wafat dalam usianya yang ke-76 tahun (menurut perhitungan Hijriyah)
di Kairo, sebuah desa yang terletak di Sungai Nil, sekitar kota Fusthath,
tempat keberadaan madrasah al-Qamhiah dimana sang filsuf, guru, politisi ini
berkhidmat.[16]
Ibnu Khaldun adalah seorang yang memiliki prestasi
yang gemilang, beliau sangat mahir dalam menyerap segala pelajaran yang diterimanya.
Sejak masa kanak-kanak ia sudah terbiasa dengan filsafat, ilmu alam, seni dan
kesusastraan yang dengan mudahnya ia padukan dengan bidang kenegaraan,
perjalanan, dan pengalamannya. Wawasan Ibnu Khaldun
terhadap beberapa prinsip-prinsip ekonomi sangat dalam dan jauh kedepan
sehingga sejumlah teori yang dikemukakannya hampir enam abad yang lalu sampai
sekarang tidak diragukan merupakan perintis dari beberapa formula teori modern.
Dunia mendaulatnya sebagai `Bapak Sosiologi Islam’. Sebagai salah seorang
pemikir hebat dan serba bisa sepanjang masa, buah pikirnya amat berpengaruh.
Sederet pemikir Barat terkemuka, seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Robert
Flint, Arnold J Toynbee, Ernest Gellner, Franz Rosenthal, dan Arthur Laffer
mengagumi pemikirannya. Tak heran, pemikir Arab, NJ Dawood menjulukinya sebagai
negarawan, ahli hukum, sejarawan dan sekaligus sarjana. Dialah Ibnu Khaldun,
penulis buku yang melegenda, Al-Muqaddimah.
7. Al-Kindi
Al-Kindi, alkindus, nama lengkapnya Abu Yusuf Ya`kub ibn Ishaq ibn
Sabbah ibn Imran ibn Ismail al-Ash`ats ibn Qais al-Kindi, lahir di Kufah, Iraq sekarang,
tahun 801 M, pada masa khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dari dinasti Bani
Abbas (750-1258 M).[17] Pendidikan
al-Kindi dimulai di Kufah, dengan pelajaran yang umum saat itu, yaitu
al-Qur’an, tata bahasa Arab, kesusasteraan, ilmu hitung, fiqh dan teologi. Yang
perlu dicatat, kota Kufah saat itu merupakan pusat keilmuan dan kebudayaan
Islam, di samping Basrah, dan Kufah cenderung pada studi keilmuan rasional
(aqliyah).[18]
Kondisi dan situasi inilah tampaknya yang kemudian menggiring Al-Kindi untuk
memilih dan mendalami sains dan filsafat pada masa-masa berikutnya.
Al-Kindi meninggalkan banyak karya tulis. Setidaknya ada 270 buah
karya tulis yang teridentifikasi, yang dapat diklasifikasi dalam 17 kelompok:
(1) filsafat, (2) logika, (3) ilmu hitung, (4) globular, (5) music, (6)
astronomi, (7) geometri, (8) sperikal, (9) medis, (10) astrologi, (11)
dialektika, (12) psikologi, (13) politik, (14) meteorology, (15) besaran, (16)
ramalan, (17) logam dan kimia.10 Cakupan karya-karya tersebut menunjukkan
luasnya wawasan dan pengetahuan al-Kindi. Beberapa karyanya telah diterjemahkan
oleh Gerard (1114–1187 M), tokoh dari Cremona, Italia, ke dalam bahasa Latin
dan memberi pengaruh besar pada pemikiran Eropa abad-abad pertengahan. Karena
itu, Gerolamo Cardano (1501-1576 M), seorang tokoh matematika asal Italia,
menilai al-Kindi sebagai salah satu dari 12 pemikir besar dunia yang dikenal di
Eropa saat itu.[19]
[1] Azwar, Pemikiran
Ibnu Sina Tentang Jiwa, Skripsi Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas
Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007, hlm. 13-14.
[2] Henry
Corbin, History of Islamic Philosophy, London and New York in association
with islamic publications for the institute of ismaili studies London, hlm.
167.
[3] Ahmad
Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm.
34.
[4]
Sirajuddin zar, Filsafat islam; Filosof dan Filsafatnya, hlm. 93.
[5] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam: Konsep, filsuf, dan Ajarannya, (Bandung:
CV PUSTAKA SETIA, 2013), hlm. 80.
[6] Poerwantana, dkk,. Seluk-beluk Filsafat Islam, (Bandung:
Rosdakarya, 1988), cet. ke-1, hlm. 133.
[7] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), cet. ke-5, hlm. 66.
[8] Mahmud
Qasim, Dirasah fi al-Fasafat al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Ma’arif,
1973), hlm. 112.
[9] Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
penyunting: Sutardji Calzoum Bachri, 1997), cetakan kedelapan, hlm. 107.
[10]
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (, Jakarta: Bulan Bintang,
1996), hlm. 165.
[11] El Ghrari, Halima, Para Pelopor Peradaban Islam,
(Sleman: 2005, Matan).
[12] Murti Ningsih, Wahyu, Biografi Para Ilmuan Muslim,
(Yogyakarta: Insan Madani, 2009).
[13] Hermawan, dkk,. Al-Ghazali, (Kepustakaan Populer
Gramedia, 1997), hlm. 7.
[14] Enan, Biografi
Ibnu Khaldun, terj, Machnun Husein, 14.
[15] Firdaus
Syam, Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya
Terhadap Dunia Ke-3, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), Ed. 1, Cet. 2, hlm. 67.
[16] Ibid.,
75.
[17] Fuad el-Ahwani,
“Al-Kindi” dalam MM. Syarif, Para Filosof Muslim, terj. A Muslim,
(Bandung: Mizan, 1996), hlm. 11.
[18] Ibid.,
12.
[19] Fuad
Ahwani, Para Filosof Muslim, hlm. 13.